Merangkai semangat kebangsaan dalam social media

Saya masih terkenang pengalaman itu. Sebuah momen langka dan sederhana 3 tahun silam yang membuat batin saya sontak bergelora dalam gemuruh semangat nasionalisme yang begitu kental.
Keempatbelas pemuda-pemudi nampak berdiri diatas panggung dengan kepala tegak dan sorot mata berbinar, seketika memantik keharuan di batin saya. Dengan baju kaos seragam berwarna sama dan syal merah putih dikalungkan di leher, mereka terlihat begitu gagah dan penuh semangat. Ya, mereka adalah perwakilan 14 komunitas Blogger se Indonesia, pada hari itu, berkumpul bersama di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat dengan lantang menyerukan kembali Sumpah Pemuda. Dinding-dinding aula museum yang dipenuhi oleh sekitar 200 hadirin tersebut memantulkan suara lantang mereka, bergema jauh, hingga ke relung hati paling dalam.

Yang menarik adalah, kegiatan yang digagas dengan nama “Sumpah Pemuda 2.0″ itu secara serentak di-Retweet-kan di seluruh jaringan Media Sosial Twitter. Jadi tatkala para blogger dari 14 komunitas (Makassar, Medan,Padang, Palembang,Jakarta, Bodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta,Solo, Surabaya,Manado,Kalimantan Selatan dan Ambon) dengan penuh antusias bersama-sama mengucapkan ikrar tersebut yang merepresentasikan semangat kebangsaan dan nasionalisme, maka secara serentak pula, hadirin dan para simpatisan lainnya, me-retweet ulang sumpah itu melalui jalur media sosial twitter mereka.

Saya membayangkan pesan-pesan singkat berisi Sumpah Pemuda itu menyebar serentak di dunia maya, menyentak dan membangkitkan ruang sadar yang membacanya betapa penting dan berharganya mengaktualisasikan kembali makna persatuan bangsa di era globalisasi yang riuh ini.

Pemilihan blogger yang menjadi wakil menyuarakan Sumpah Pemuda 2.0 menurut saya adalah sebuah langkah yang tepat dan strategis. Tentu tanpa mengabaikan peran yang lain, Blogger yang mewartakan informasi lewat ranah “new media” berupa blog atau perangkat social media lainnya mempunyai kekuatan dashyat menggalang solidaritas sosial tanpa dibatasi oleh sekat-sekat primordial. Eksistensinya mewakili suara rakyat biasa, memaparkan banyak hal tentang keresahan, optimisme, ketidaksetujuan, dukungan bahkan cinta dengan menggunakan piranti teknologi informasi dan sudah terkoneksi dengan internet, secara terbuka dan independen.

Prof.Dan Gilmor, penulis buku “We The Media: Grassroots Journalism by the people, for the people (2004)” antara lain menyatakan evolusi media di masa depan akan dicirikan dengan terbentuknya sebuah ekosistem yang menghadirkan dialog multi arah, serta penguatan dialog masyarakat sipil di tingkat lokal,nasional maupun internasional. Dan Blogger memegang peran penting sebagai bagian utama dari ekosistem tersebut dengan membangun dialog yang sehat dan bermartabat lintas komunitas lewat masing-masing media yang dimiliki.

Selain mewartakan informasi dan mempublikasikan opininya lewat blog, blogger juga menjalin interaksi kolegial dengan pembaca, lingkungan komunitasnya bahkan lintas komunitas sekalipun. Dialog multi arah yang terjadi dapat saja merupakan sebuah bagian dari inspirasi melaksanakan gerakan aksi nyata untuk menyikapi sebuah isyu tertentu, misalnya. Semangat berbagi yang dicetuskan oleh blogger lewat media yang dimiliki, mempunyai potensi besar untuk menggerakkan secara spontan, hingga berbenah menuju perubahan yang lebih baik dari sebelumnya.

Ketika bencana alam melanda Indonesia mulai dari Banjir Bandang Wasior Papua, Meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta hingga Tsunami kepulauan Mentawai, komunitas blogger dan online indonesia. langsung ikut bergerak cepat untuk menggalang dana bantuan atau barang untuk disumbangkan pada korban bencana. Upaya penggalangan dana ini menjadi sangat esensil dan bernilai karena digerakkan bukan melalui campur tangan pemerintah yang sarat birokrasi namun secara independen dalam sebuah bingkai semangat dan kepedulian yang sama.

Wujud Indonesia pada saat ini,tak lagi berupa gugus-gugus yang mesti dipertahankan secara fisik dari pijakan penjajahan asing. Tak lagi berupa sebuah teritori kesadaran yang terancam karena ada helai-helai hegemoni menyelusup ke file-file kesadaran kita dan kemudian adalah virus yang dapat merobek sendi tulang, bahkan sumsum kebangsaan.

Sebagai bangsa, Indonesia serta merta menjelma menjadi kerja keras membangun kehidupan ekonomi, menata kehidupan politik, menyaksikan perjalanan budaya : Sesuatu yang senantiasa mesti diberi legitimasi historis dari apa yang disebut sebagai “spirit sumpah pemuda 1928? atau “semangat juang ’45? berdasarkan acuan tunggal bernama UUD 1945 yang dibingkai oleh kesadaran ber-Pancasila.

Dari sini akan timbul pertanyaan, apakah masih relevan mengedepankan aspek historis yang lahir dari kancah revolusi fisik tersebut untuk menjadi sumber motivasi dan inspirasi justru ditengah kecamuk keterbukaan dunia yang kian menyempitkan pilihan-pilihan kita untuk bisa tetap bertahan?

Tentu tak semudah itu. mentransformasikan kesadaran era lahirnya Sumpah Pemuda yang disemangati oleh api nasionalisme kepada kenyataan kontemporer yang berpijak pada bara modernisme, globalisme bahkan post modernisme. Pada gilirannya, modernisme pun “mengkhianati” nasionalisme itu dengan “putra bungsu” bernama Globalisme.

Bangsa inipun menjelma tidak sekedar sebuah “Nation” dengan negara sebagai perwujudan strukturnya : sesuatu yang kemudian memudahkan kita sebagai bangsa diatur dan dikendalikan semata-mata oleh negara, yang membawa kita membela dan mempertahankannya di tengah revolusi fisik. Saat ini, Pasar dan Media Massa menjelma menjadi “struktur” lain yang kemudian menggusur kokohnya “Nation” itu bahkan hingga sampai ke tingkat kesadaran. Bagaimana kiranya nasib “nasionalisme” (juga patriotisme) pada kenyataan ini? Logika pasar dan juga media massa jelas-jelas sangat berbeda dengan logika bangsa yang mengedepankan persatuan, keutuhan, kesatu paduan.

Era Globalisasi yang muncul menderu-deru, menjelma menjadi sebuah hegemoni baru, yang ternyata tidak lagi biadab seperti era Kolonialisme dan imperialisme, melainkan sangat “beradab” dan bekerja secara halus serta perlahan tapi pasti menggerogoti tulang sum-sum kebangsaan kita. Dan kita sudah merasakan konflik-konflik bernuansa anarkis kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan melukai semangat persatuan dan kesatuan kita. Ini memprihatinkan.

Menarik disimak apa yang diungkapkan Puan Maharani, seperti dikutip disini yang menyatakan bahwa :

Indonesia saat ini sangatlah berbeda dengan Indonesia tahun 1960-an. Pada periode itu, Indonesia telah mampu menjadi inspirasi bagi kemerdekaan bangsa-bangsa Asia Afrika. Angkatan Perang Indonesia merupakan angkatan perang terkuat di Asia Tenggara.

Kepemimpinan Indonesia di dunia internasional, bahkan sangat jelas watak perikemanusiaannya, dengan menjadi pelopor Gerakan Non Blok, dan The New Emerging Forces (NEFOS). Di dalam negeri, Indonesia memiliki konsepsi perekonomian yang luar biasa melalui Pembangunan Semesta dan Berencana. Semangat kepeloporan Indonesia itu, kini digerus oleh melunturnya spirit kebangsaan. Intoleransi kembali terjadi. Wibawa negara merosot dan berbagai persoalan ekonomi yang sangat pelik kini menghadang.

Akibat dari semua ini, disiplin nasional merosot. Kebanggaan sebagai bangsa meluntur dengan berbagai bentuk ketergantungan Indonesia terhadap produk impor. Spirit berdikari berubah menjadi spirit berkonsumsi. Rupiah pun terus tertekan hingga menembus Rp 12.000 per dolar AS karena besarnya ketergantungan terhadap impor.

Pengangguran dan kemiskinan, yang seharusnya bisa ditekan dalam spirit pembangunan yang berkeadilan sosial, kini justru menjadi wajah buram perekonomian Indonesia. Ketidaktaatan terhadap hukum semakin melemahkan sendi-sendi bernegara. Padahal Indonesia dibangun sebagai negara hukum. Kokohnya Indonesia yang disatukan oleh prinsip kebangsaan dengan nilai kebhinekaan, kini semakin dinodai oleh intoleransi, konflik sosial akibat SARA yang seharusnya tidak terjadi lagi “.

( Iman Brotoseno )

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*