Indahnya pertautan Islam & Nasionalis

Jumat 7 Maret 2014, saya berkesempatan hadir dalam Pengajian akbar tahunan Majelis Al Hidayah serta shalawatan bersama Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegaf yang diselenggarakan di Solo Baru, Sukoharjo – Jawa Tengah.

Mungkin ada yang kaget karena belum pernah terdengar sejarahnya saya mengikuti pengajian akbar seperti ini. Kalau sudah begini, umumnya orang akan mengkotak kotakan latar belakang keluarga saya yang nasionalis. Padahal tidak seperti itu yang kelihatan. Bukankah pertautan nasionalis, khususnya Bung Karno dan Islam sudah terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka.

Habib Syech menyambut kedatangan rombongan saya dengan hati tulus. Dengan tutur katanya yang lembut, beliau bahkan mengingatkan pernah melihat saya dalam satu pesawat dalam penerbangan dari Singapore. Hanya waktu itu saya belum mengenalnya. Beruntung sekarang saya bisa berkenalan.

Dalam pengajian ini. Tausyah diberikan Ustad Alwi Bin Ali Alhabsy. mengajarkan kecintaan kita kepada Allah swt, lebih dari pemimpin manapun. Yang menarik adalah kisah bagaimana Nabi Muhammad saw mau berkorban untuk umat. Ini merupakan ‘ jeweran’ bagi pemimpin saat ini yang jka sudah diatas, lupa dengan umat d bawahnya. Dengan humor yang segar serta perumpamaan yang pas, ustad membuka hati kita untuk jangan sedikit sedikit melakukan kewajiban agama. Padahal Allah swt tidak sedikit sedikit memberi barokah kepada kita umatnya.

Sebenarnya banyak tulisan Bung Karno tentang kebangsaan, sudah dibaca di kalangan pesantren.. Bahkan tulisan “ Mencapai Indonesia merdeka “ secara tidak langsung memberikan semangat nasionalismedi kalangan santri. Jadi dalam tingkat ide, pemikiran Bung Karno bukan sesuatu yang asing bagi NU.

Dulu Bung Karno pernah mendapat gelar Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati pada Mauktamar Alim Ulama se – Indonesia di Cipanas pada tahun 1953, yang menunjukan keabsahan pimpinan negara saat itu.

Kekaguman Bung Karno pada pesantren memang sejak dulu, apalagi dia percaya bahwa santri santri menunjukan simpati yang besar terhadap nasionalisme berdasarkan kerakyatan. Ini cocok dengan paham Bung Karno yang nasionalis dan marhaen. Sementara pesantren juga melihat Bung Karno menawarkan titik temu antara nasionalisme dan Islam. Coba kita lihat nama nama pesantren NU, selain ada pemakaian bahasa Arab tapi juga merujuk pada nama desa / daerah. Misalnya pondok Tebu Ireng, Krapyak, Tegal Rejo dan sebagainya. Ini adalah isyarat Islam yang membumi , selalu bersama dalam satu tarikan nafas warga ahlussunah.

Jika Bung Karno sudah menjalin hubungan dengan Mbah Hasyim Asya’ri dan Kiai Wahab Hasbullah. Kemudian ibu saya mempunyai hubungan baik dengan Gus Dur sampai Mbah Lim ( KH Muslim Rifai Imampuro ) pemimpin Ponpes Al Muttaqin Pancasila Sakti, Karanganom, Klaten. Maka tidak ada salahnya saya meneruskan tradisi silahturahmi dengan dengan keluarga ahlussunnah wal jama’ah .

Islam dan Nasionalisme sama sama bahu membahu dalam membangun rumah Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa robbun ghafur, tempat dimana jamaah nahdliyin tinggal bersama sama dengan saudara sebangsa yang lain. Ini bukan sekadar tanggung jawab konstitusional NU, melainkan jelas kewajiban yang melekat.

Jika dijadikan landasan berpijak, maka antara Nasionalisme dan Islam hendaknya diucapkan dalam satu denyut jantung. Selanjutnya tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bangsa dan negara tetap berdiri sebagaimana yang dicita citakan para pendiri bangsa.
Habib Syech telah menunjukan tauladan itu. Setelah acara pengajian berakhir, dia meminta semua jamaah berdiri, dan ia sendiri memimpin jamaah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Sikapnya membutikan bahwa dia ulama besar, yang selalu taat pada jalan agama sekaligus mengajarkan untuk tetap mencintai tanah air.

( sebagaimana dikisahkan Mbak Puan Maharani )

Sumber berita

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*