Diplomasi Meja makan Jokowi – Kalla

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sering mengajak orang makan bersama. Acara itu sering kali dipakai untuk membicarakan sejumlah hal atau menyampaikan pesan tertentu kepada publik. Presiden baru saja bertandang ke Kantor Wapres sekaligus makan siang bersama Wapres. Makan bersama bisa menunjukkan kesan akrab. Dalam santap bersama, diskusi juga bisa dilakukan lebih santai. Presiden dan Wapres biasa makan bersama dengan berbagai kalangan. Makan bersama ini, antara lain, juga pernah dilakukan Presiden dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Staf TNI AD Jenderal Mulyono, dan Kepala Staf TNI AL Laksamana Ade Supandi pada 14 Desember 2017 di Istana Bogor.

Presiden Joko Widodo suka mengajak orang makan bersamanya. Tak ada kekhususan tamu yang diundang. Mulai dari anggota masyarakat biasa hingga elite politik termasuk ketum Partai bisa diajak makan bersama Presiden.

Jika sedang berada di Jakarta, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla biasa makan bersama sepekan sekali di ruang makan Istana Merdeka, yaitu selepas shalat Jumat. Acara itu menjadi semacam konsolidasi mingguan kedua pemimpin itu. Obrolannya bermacam-macam, mulai dari hal yang ringan menyegarkan hingga persoalan rumit kenegaraan.

Pada Selasa 6 Februari, Presiden dan Wapres juga makan siang bersama di Kantor Wapres.

Hari itu, Presiden menuju Kantor Wapres yang berada di sisi timur Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta dengan mengendarai mobil golf. Sesampai di tempat itu, Presiden segera memasuki ruang kerja Wapres dan membuka perbincangan. Saat itu, Presiden hanya disertai ajudan dan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Tidak ada menteri yang mendampingi.

Wartawan yang bersiap untuk konferensi pers mingguan bersama Wapres siang itu sempat terkecoh. Pasalnya, beberapa anggota Paspampres bersiap di pintu depan lobi Kantor Wapres, tetapi Presiden masuk melalui pintu samping, dekat mobil Wapres diparkir. Presiden Jokowi menyebut pertemuan itu dengan istilah “kunjungan balasan”.

Makan siang bersama
Kepala Biro Pengelolaan Istana Kepresidenan Darmastuti Nugroho menuturkan, Presiden tidak pernah makan siang sendirian. Presiden setidaknya makan siang dengan perangkat kepresidenan yang sering bertugas melekat padanya.

Perangkat kepresidenan yang dimaksud, antara lain, adalah Sekretaris Pribadi Anggit Nugroho, Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kepala Staf Kepresidenan sebelumnya, Teten Masduki, dan kini Jenderal (Purn) Moeldoko, serta Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Formasinya tidak selalu lengkap, namun paling tidak dua orang. Di antara perangkat kepresidenan itu, yang paling sering makan siang bersama Presiden adalah Anggit Nugroho.

“Kami selalu diminta menyediakan makanan yang kira-kira orang suka. Tujuannya agar siapa pun yang makan bersama Presiden selalu senang,” kata Darmastuti. Dia menambahkan, Presiden tidak fanatik pada jenis makanan tertentu. Selain ayam kampung, Presiden juga menyukai ikan bakar, masakan sunda, dan masakan melayu.

Pengamatan Darmastuti, waktu makan bersama, Presiden terlihat lebih antusias berbincang dengan lawan bicara. Di acara itu, sering kali Presiden menerima laporan dari perangkat kepresidenan.

Wapres juga sering mengajak tamu dan anggota stafnya makan siang bersama. Setelah makan, menurut Husain, Juru Bicara Wapres, suasana menjadi rileks. Mereka yang hadir di tempat itu pun lebih santai dalam menyampaikan banyak hal. Begitu pun dengan Kalla. Wapres bisa lebih menyampaikan banyak pesan, sebagaimana disampaikan penulis Inggris, Virginia Woolf, dalam karyanya berjudul A Room of One’s Own.

Di buku itu, Woolf menulis, “One cannot think well, love well, sleep well, if one has not dined well”. Terjemahan bebasnya lebih kurang, seseorang tidak bisa berpikir, mencintai, tidur nyenyak jika ia belum makan dengan baik.

Akhirnya, acara makan bersama itu menjadi bagian dari diplomasi. Ini sejalan dengan pemikiran Sam Chapple-Sokol, pemerhati kuliner lulusan Tufts University, Amerika Serikat. Dia meyakini, kuliner dapat menjadi alat diplomasi sebagaimana ditulis di situsnya, Culinarydiplomacy.com. Chapple-Sokol menyatakan, sejumlah negara telah menggunakan kuliner sebagai sarana mengurangi konflik kekerasan. Pasalnya, interaksi di depan meja makan membuka peluang untuk saling memahami budaya setiap pihak. Keuntungan yang kemudian didapat adalah terciptanya perdamaian.

Konsep Chapple-Sokol sejalan dengan dampak positif yang dirasakan Jokowi dengan acara makan bersama. Ketika menjabat Wali Kota Solo (2005-2012), Jokowi berhasil merelokasi pedagang kaki lima yang menempati area Monumen 45 Banjarsari. Pemindahan ini berhasil dilakukan setelah puluhan kali bertemu dan makan bersama pedagang. Dialog dengan makan siang juga dilakukan Jokowi saat menjabat Gubernur DKI Jakarta (2012-2014). Saat itu, Jokowi mengundang warga Pluit, Jakarta Utara, yang mempersoalkan relokasi Waduk Pluit oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk makan siang di Balai Kota Jakarta pada Mei 2013.

Gaya komunikasi
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Jakarta, Gun Gun Heryanto, menyebut Jokowi dan Kalla memiliki gaya komunikasi politik yang mirip, yakni gaya kesetaraan. Komunikasi keduanya umumnya disampaikan spontan, lebih santai, dan mudah dipahami audiens.

Kebiasaan mengundang makan bersama, menurut Gun Gun, merupakan “panggung depan” untuk memberi kesan dan konteks tertentu. Perjamuan bisa mengesankan hangatnya hubungan. Dari panggung depan tersebut bisa terlihat mana politisi yang diposisikan atau ingin dikesankan benar-benar akrab dan mana yang tidak. “Hal penting dari gaya komunikasi ini adalah kesan dan kesan yang ingin dibangun,” ujarnya.

Kenyataan bahwa makan siang Jokowi dan Kalla diadakan hari Selasa, tepat di hari jumpa pers mingguan Wapres dengan wartawan di Kantor Wapres, diyakini bukan kebetulan. “Dalam komunikasi politik tidak ada komunikasi yang tidak direncanakan,” kata Gun Gun.

Airlangga Pribadi, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, menilai, dalam santap siang sangat mungkin ada ruang untuk solusi dan masukan dalam hidup bernegara. Namun, semua kembali pada komitmen dan kepercayaan dalam proses itu.

( Sumber – KOMPAS )

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*