SUKARNO adalah bapak bangsa “founding father” yang telah meletakkan dasar-dasar kuat tentang toleransi beragama di negerinya. Ia sejak dari awal telah bekerja keras mencurahkan daya pikirnya untuk membangun sebuah fondasi dasar demi terbentuknya kerukunan beragama untuk bangsa dan tanah airnya. Sukarno adalah seorang muslim taat yang menghargai perbedaan. Ia juga seorang muslim toleran. Meskipun ia adalah seorang pemeluk Islam taat dan pemimpin bangsa mayoritas penduduknya beragama Islam, namun ia mencintai keberagaman, menghormati, dan melindungi pemeluk atau penganut agama lain tanpa terkecuali.
Karena sikapnya yang toleran dan melindungi pemeluk agama lain tersebut, Sukarno mengaku pernah mendapat tiga kali medali penghargaan dari Vatikan. “Aku orang Islam hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi di Vatikan,” kata Sukarno. Bahkan jumlah medali yang diperoleh Sukarno melebihi medali yang diterima Presiden Irlandia, Eamon de Velera yang penduduk mayoritasnya beragama Katholik.“Bahkan Presiden Irlandia pun mengeluh padaku bahwa dia hanya memperoleh satu,” kata Sukarno.
Tidak hanya pemimpin Irlandia, pemimpin India, Jawaharlal Nehru juga kagum atas keberagaman dan toleransi beragama di Indonesia. Nehru pada tahun 1950 mengunjungi Indonesia untuk pertama kalinya. Dalam kunjungannya ini, ia kagum dan mendapat inspirasi bagaimana kehidupan toleransi mampu merukunkan berbagai suku dan pemeluk agama di Indonesia. Sebagai contoh, ia terkesima dengan toleransi, keberagaman dan akulturasi yang berlangsung di Jawa yang mayoritasnya beragama Islam, namun menggunakan bahasa Sansekerta. “The Indonesian, chiefly from Java, were even more interesting. They were Muslim, but even their names are partly derived from Sanskrit,” kata Nehru.
Sukarno ingin tampil sebagai pemimpin yang menyatukan semua pemeluk agama. Kaum Muslim, pemeluk Katolik, Protestan, Hindu, Budha menurutnya dapat hidup berdampingan dan saling menghormati di bumi Indonesia. Ia menolak memberikan perlakuan khusus bagi salah satu pemeluk agama. Semua pemeluk agama di matanya adalah sama, sebagai bagian khasanah keragaman dan ke-Bhineka Tunggal Ika-an.
Sukarno dari sejak awal dalam penyusunan ideologi negara telah memproyeksikan bentuk negara yang menurutnya paling tepat bagi Indonesia, tidak hanya saat itu namun untuk jauh ke depan. Dalam pidato di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indnesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945, ia menyebut negara Indonesia nantinya adalah negara yang mengayomi semua agama, golongan, bukan hanya untuk satu golongan, “Saudara-Saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-Saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu Negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua.”
Dari pidato di depan BPUPKI tersebut Sukarno sebenarnya telah meletakkan sebuah visi yang jauh ke depan, melepaskan sekat-sekat perbedaan agama, suku, golongan untuk terbentuknya sebuah negara yang dapat menjadi rumah bagi setiap golongan, agama dan suku-suku. Ia melepaskan egonya sebagai seorang muslim demi bangsa negara yang hendak dibentuk. “Bagaimana mempersatukan aliran- aliran, suku-suku, agama-agama dan lain-lain sebagaimana itu. Jikalau tidak diberi suatu dasar yang mereka bersama- sama bisa berpijak di atasnya, dan itulah Saudara-Saudara, Pancasila,” kata Sukarno.
Bung Karno juga melepaskan “egoisme” kebangsawananya dan ke-Jawa-annya demi terbentuknya negara yang mengayomi seluruh suku-suku di Nusantara. “Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!” kata Sukarno.
Sukarno bersama dengan para tokoh-tokoh nasional melihat bahwa keberagaman adalah ciri bangsa Indonesia. Keberagaman beragama tidak seharusnya menjadi faktor pelemah, atau memecah belah kesatuan bangsa. Bahkan sebaliknya, keberagaman dapat memperkaya keberagaman, dan menjadi keunikan tersendiri yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya.
Terdapat cerita menarik pada tahun 1950 yang merefleksikan bagaimana Sukarno ingin menunjukkan kepada rakyat dan masyarakat dunia internasional bahwa pemeluk agama yang beraneka ragam di Indonesia dapat hidup berdampingan satu dengan yang lain. Cerita tersebut berawal saat Sukarno berencana ingin membangun sebuah masjid agung yang ia harapkan menjadi kebanggaan bagi seluruh umat muslim Indonesia. Tidak hanya terbesar di Indonesia, namun ia menginginkan masjid termegah di Asia Tenggara. Namun, Sukarno tetap menginginkan masjid tersebut melambangkan nilai-nilai luhur bangsa seperti keharmonisan, kebhinekaan, dan toleransi.
Untuk mewujudkan gagasannya tersebut, Sukarno mengumpulkan sejumlah tokoh-tokoh nasional, termasuk para arsitek-arsitek untuk merancang sebuah masjid agung yang diharapkan menjadi kebanggaan rakyatnya. Suatu keputusan luar biasa, Sukarno memilih seorang arsitek non muslim untuk merancangnya. Sang arsitek tersebut bernama Frederick Silaban, beragama Kristen yang berasal dari Sumatera Utara.
Menurut beberapa sumber, Sukarno pernah berdebat dengan Wakil Presiden Hatta saat menentukan tempat atau lokasi masjid. Masing-masing Sukarno dan Hatta memiliki ide dan argumentasi kuat. Bung Hatta mengusulkan agar masjid dibangun di sekitar Bundaran HI. Sebagai seorang ekonom, ia menekankan pinsip efisiensi dan azas kepraktisan. Ia menyebut di sekitar Bundaran HI terdapat masyarakat muslim dan wilayahnya masih berupa lapangan kosong. Secara kepraktisan, Hatta menyebut jika masjid tersebut dibangun di lokasi yang ia maksudkan maka akan lebih mudah memakmurannya karena dekat dengan pemukiman masyarakat muslim yang tinggal di sekitarnya.
Sukarno ternyata memiliki pemikiran beda dengan Hatta. Ia mengusulkan agar masjid dibangun di depan Gereja Katedral, yaitu di sebuah taman yang saat itu bernama Taman Wihelmina. Di balik gagasannya ini, ia memiliki visi yang sama sekali tidak terpikirkan oleh tokoh-tokoh nasional lainnya saat itu. Hatta pun tidak menangkap apa yang ada di benak pikiran Sukarno dan terus berargumentasi jikalau masjid dibangun di lokasi Taman Wihelmina mengakibatkan membengkaknya biaya pembangunan. Sebagai informasi, di Taman Wihelmina terdapat reruntuhan bangunan yang harus dihancurkan dan dibersihkan terlebih dahulu jika diatasnya didirikan bangunan baru.
Sukarno tetap bersikeras dengan gagasannya. Ia kemudian memaparkan alasannya yang akhirnya dipahami oleh Hatta dan tokoh-tokoh nasional lainnya. Sukarno menyebut alasan dibangunnya masjid di depan Gereja Katedral karena untuk membangun semangat toleransi, persaudaraan, pluralisme, keberagaman, persatuan yang menjadi jiwa bangsa Indonesia. Masjid yang kemudian diberi nama “Masjid Istiqlal” yang berarti “Masjid Kemerdekaan.” Tidak hanya milik rakyat yang beragama Islam, namun masjid tersebut harus menjadi milik dan kebanggaan rakyat dan bangsa Indonesia.
Lebih lanjut, masjid tersebut sebagai simbol toleransi beragama. Pembangunan Masjid Istiqlal berlangsung selama 17 tahun. Sukarno meletakkan batu pertama pembangunan. Pada tanggal 22 Februari 1987 masjid sebagai simbol toleransi ini dapat dirampungkan. Masjid agung yang memiliki 12 pilar dan memiliki gaya arsitek Indonesia yang mampu menampung ribuan jamaah ini menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara. Hingga kini, Masjid Istiqlal menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, sekaligus lambang toleransi. Hingga kini, banyak dari pemimpin dunia non muslim mengunjungi Masjid Istiqlal, termasuk Bill Clinton, Barrack Obama dan kagum menyaksikan kemegahan dan makna toleransi.
Masjid Istiqlal adalah simbol toleransi bagi rakyat Indonesia. Dan ini telah seolah menjadi “legacy” bagi bangsa Indonesia yang ditinggalkan oleh para pendiri bangsa. Masjid Istiqlal semestinya dapat menjadi pengingat bagi generasi selanjutnya. Sebagaimana yang diharapkan oleh Sukarno, bahwa “toleransi” sebagai karakter bangsa yang harus dijaga dan dipupuk.
Di balik kesemuanya itu, Sukarno benci sifat “intoleransi”. Ia tidak suka melihat orang-orang yang memaksakan kehendak, orang-orang yang begitu mudahnya menyalahkan orang lain dan mengklaim sebagai yang paling benar. “Orang yang demikian adalah orang yang mutlak-mutlakan yang sombong, yang ego sentris, yang ekslusif, orang yang tenggelam dalam ekstremitet, orang yang tak mungkin dapat menjalankan toleransi, orang yang dus sama sekali ongeschikt buat demokrasi,” kata Sukarno.
Lebih dari itu, Sukarno menganggap orang-orang yang yang menganggap dirinya benar, sebaliknya menganggap kelompok lain salah dalam beragama tidak lebih sebagai orang fasis. Manusia tidak seharusnya menganggap dirinya yang paling benar, terlebih terkait kepercayaan atau keyakinan. “Hanya Tuhan sajalah yang memegang kebenaran,” kata Sukarno.
Sikap toleransi tentu saja tidak akan mengurangi keimanan bagi siapapun dengan apapun agama yang dipeluknya. Bahkan, toleransi semakin menguatkan jati diri seseorang yang melakukannya. Presiden AS, John F. Kennedy juga pernah menyinggung arti penting toleransi beragama bagi rakyat Amerika. Ia dalam sebuah pidatonya berkata, “Tolerance implies no lack of commitment to one’s beliefs. Rather it condemns the oppression or persecutors of others.” Sukarno telah mengajarkan sikap toleransi beragama selama masa hidupnya. Hal ini diakui oleh berbagai pihak di zamannya, bahkan hingga kini. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan “Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Sukarno adalah presiden Indonesia yang paling toleran. Hasil survei ini dimumumkan pada tanggal 23 Desember 2012. Menurut peneliti LSI, Adjie Alfarabi menyebut Sukarno sebagai pemimpin negara yang paling toleran terhadap keberagaman, yaitu 82% dikuti oleh presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur dengan nilai 81%.
( Aris Sigit Prasetyo )
Be the first to comment