Apa Syarat Menjadi Kesatria dalam Falsafah Jawa? Ini Penjelasan Bambang Pacul

Apa Syarat Menjadi Kesatria dalam Falsafah Jawa? Ini Penjelasan Bambang Pacul
Foto: Bambang Pacul ketika menjabarkan syarat seseorang menjadi kesatria dalam falsafah Jawa di podcast PutCast, Mojokdotco.

Bambang Pacul, atau Ir. Bambang Wuryanto, M.B.A. adalah seorang politisi kharismatik yang sarat akan nilai-nilai sosio-kultural dalam menjalani kehidupan politiknya. Pria yang juga dikenal luas sebagai orang yang mempopulerkan istilah “Korea” sebagai representasi ‘Wong Cilik’ dengan semangat perjuangan yang membara untuk memperbaiki kualitas hidupnya ini pun memiliki pandangan yang strategis mengenai makna kesatria dalam falsafah Jawa.

Menurutnya, terdapat lima syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk bisa dikategorisasikan sebagai seorang kesatria yang sempurna, antara lain: Curigå (keris), Turånggå (kuda), Wismå (tempat peristirahatan), Wanitå (perempuan), dan Kukilå (burung).

Pertama, Curigå (keris) berguna sebagai pemupuk sifat pengandhel atau sifat yang membuat seseorang menjadi percaya diri atau pemberani. Bambang Pacul menganalogikan tokoh pewayangan seperti Raden Narayana yang memiliki senjata cakra dan Prabu Baladewa yang memiliki senjata alugara, yang mana mereka memperoleh senjata pusaka tersebut melalui sebuah pertapaan. Menurutnya, realisasi kepemilikan curigå bagi kesatria dalam kehidupan hari ini adalah keahlian/skill yang diperoleh melalui proses pembelajaran. Ia pun menggambarkan proses belajar, sekolah, ataupun kuliah tersebut sebagai gambaran pertapaan.

Selanjutnya adalah turånggå (kuda). Bambang Pacul menggambarkan seorang kesatria yang berada di medan pertempuran harus memiliki turånggå supaya jangkauannya bisa lebih luas. Dalam hal ini, turånggå bermakna sebagai ilmu pengetahuan. Aktualisasinya adalah dengan seseorang memiliki daya jangkau yang lebih luas terhadap ilmu pengetahuan, seseorang tersebut bisa memiliki kemampuan analitis dan pemecahan masalah yang mumpuni untuk menunjang tercapainya tujuan hidup.

Ketiga yaitu Wismå (tempat peristirahatan). Dalam analogi pewayangan, Wismå sering pula disebut sebagai kasatriyan. Seperti Raden Setyaki yang memiliki Kasatriyan Swalabumi di Lesanpura, Werkudara di Jodhipati, dan Samba di Parang Garuda. Dalam konteks hari ini, Wismå bermakna sebagai tempat yang berguna untuk meletakkan kelelahan fisik ketika seorang kesatria menjalankan tugas-tugasnya.

Berikutnya adalah Wanitå (perempuan). Bambang Pacul menjelaskan bahwa ketika seorang kesatria merasa lelah secara rohani ketika bertempur atau melaksanakan tugas-tugasnya, Wanitå atau perempuan yang menjadi pasangan hidup inilah yang memperkuat seorang kesatria. Adapun Wanitå sendiri menurut Bambang Pacul terklasifikasi dalam tiga tipe, yaitu: Wara Sembadra, Larasati, dan Srikandi yang memiliki karakteristik dan keistimewaan masing-masing.

Terakhir, Kukilå (burung) yang bisa dimaknai sebagai hobi atau salah satu sumber kesenangan dan ketenangan batin. Setiap kesatria memiliki Kukilå yang berbeda-beda. Bagi Bambang Pacul, kemampuan spiritual untuk bisa terkoneksi dengan alam, termasuk binatang, tumbuhan, dan lain sebagainya merupakan sebuah hal yang bisa menyempurnakan kekesatriaannya. Harmonisasi dengan alam mampu mendatangkan ketenangan batin yang berguna untuk melakukan pemulihan energi supaya seorang kesatria selalu dapat melaksanakan tugasnya dengan prima.

Tim Editor

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*