Ketika era kolonialisme pendudukan sebuah bangsa secara fisik berakhir, seorang intelektual Italia Antonio Gramsci pernah menjelaskan, bahwa kekuasaan yang menindas berupaya menguasai seluruh keadaan melalui cara yang paling kuat yaitu hegemoni, baik dalam tataran nilai ataupun tindakan. Hegemoni ini bisa mempengaruhi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi dan budaya. Ini yang membuat Bung Karno memiliki gagasan untuk menghadapi gelombang hegemoni dari pihak luar .
Tudingan Bung Karno anti dengan produk barat, tidak sepenuhnya benar. Bahwa Bung Karno melarang ikon barat – misalnya musik Beatles – lebih karena sebagai bagian dari kebijakan politik melawan Nekolim saat itu. Namun Bung Karno tidak serta merta anti musik asing, karena dia juga menyukai lagu lagu soprano dari Itali misalnya.
\Ketika itu Bung Karno memang sedang ngambek berat pada negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika, karena sikap dua negara itu bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia. Ia membutuhkan sebuah simbol untuk dilawan, sehingga Bung Karno perlu menegaskan identitas kebangsaannya melalui Trisakti, salah satunya adalah ideologi berkepribadian dalam budaya.
Kalau melihat sejarah masa mudanya, Bung Karno tumbuh dan besar bersama film film Hollywood, jadi hampir tidak mungkin dia anti film film Amerika. Bung Karno mengakui belajar bahasa Inggris dari kebiasaannya nonton film Hollywood. Bisa dikatakan ia memuja film Hollywood. Sewaktu muda, ia memiliki bintang film idaman bernama Norman Kerry. Seperti remaja Indonesia saat ini yang berusaha meniru penampilan bintang K Pop Korea. Bung Karno juga mencoba memelihara kumis tipis melintang – ala Norman Kerry – yang ujungnya melengkung ke atas. Namun, usahanya gagal. Ternyata, kumis Bung Karno tidak melengkung. Ia akhirnya menghentikan usaha meniru aktor pujaan banyak orang saat itu.
Ketika melakukan kunjungan pertama ke Amerika tahun 1956, hal pertama yang dilakukan Bung Karno adalah mengunjungi Hollywood. Ini merupakan impian masa muda yang akhirnya terwujud. Berbicara dengan bintang film kondang disana.
Kecintaannya pada film film Amerika tak menghalangi kebijakan politiknya untuk berpihak pada film nasional. Era orde lama hampir seperti saat ini, ketika film film Amerika mendominasi layar layar bioskop. Film nasional, yang mulai bangkit tahun 1950, tak bisa masuk bioskop kelas satu. Sehingga Pemerintah harus melobi Bill Palmer, bos AMPAI ( American Motion Picture Association of Indonesia ) agar film Krisis, garapan Usmar Ismail bisa tayang dan bertahan selama 35 hari di bioskop Metropole, Jakarta. Insan film juga berhasil meyakinkan Walikota Jakarta Soediro agar mengeluarkan “wajib putar” film Indonesia di bioskop Kelas I, walau pelaksanaannya kurang lancar.
Kebetulan Lekra ikut mendompleng dalam menggayang film-film Hollywood dengan tuduhan film Amerika mengakibatkan demoralisasi, karena film bukan semata untuk kepentingan hiburan, tapi juga alat perubahan, pendidikan, dan penyadaran.
Ada kisah, Bachtiar Siagian, tokoh perfilman Lekra, menceritakan sebagaimana dimuat Harian Rakjat, 19 Maret 1964, bahwa sikap Lekra tidak membabi-buta mendukung film Uni Soviet dan menghajar film apapun yang datang dari Amerika. Dia menyebut film-film progresif seperti This is Our America atau film-film Charlie Chaplin yang progresif serta bagus secara isi dan bentuk. Di sisi lain, dia juga tak abai jika ada film Soviet yang jelek seperti The Flaming Years, yang diputar di Jakarta.
Namun dalam hiruk pikuk anti film barat, tetap saja Bung Karno menjalin persahabatan dengan Bill Palmer. Bahkan secara rutin, Bung Karno mendapat pasokan film film Hollywood yang secara rutin diputar di Istana.
Memang dalam sebuah pidato resmi memperingati proklamasi 17 Agustus 1959, Soekarno menegaskan kebenciannya pada hal hal berbau asing.
“Dan engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi; engkau jang tentunja anti-imprialisme ekonomi, engkau jang menentang imprialisme politik; kenapa di kalangan engkau banjak jang tidak menentang imprialisme kebudajaan? Kenapa di kalangan engkau banjak jang masih rock ‘n roll – rock‘n rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainja lagi? Kenapa di kalangan engkau banjak jang gemar membatja tulisan-tulisan dari luaran, jang njata itu adalah imprialisme kebudajaan?”
Walau penyukai wanita cantik, tapi Bung Karno mengaku tidak suka wanita yang mengenakan rok mini di tempat-tempat umum. Hal ini pernah diakuinya pada Fatmawati saat akan menikah.
“Kukatakan padanya, aku menyukai perempuan dengan keasliannya, bukan wanita modern yang pakai rok pendek, baju ketat dan gincu bibir yang menyilaukan,” kata Bung Karno.
Selain ada muatan dialektika geo politik pada jaman itu untuk melawan neo kolonialisme, Bung Karno juga mendorong bangsa Indonesia untuk mengambil bagian dari pembangunan negerinya, diantara melalui kesadaran mencintai budaya bangsa sendiri.
Bung Karno tidak membuat larangan memakai rok bagi perempuan Indonesia, sebagaimana dia membuat larangan memainkan musik barat. Disisi lain Bung Karno tak hanya sekedar melarang, tetapi memberikan teladan dengan menggali budaya bangsa. Saat itu untuk menggantikan budaya dansa dansi yang kerap berlangsung, Bung Karno menggagas munculnya Irama Lenso yang digali dari khazanah seni budaya Maluku. Irama Lenso adalah semacam tarian pergaulan tradisional yang bermuasal dari Ambon.
Lenso adalah saputangan dalam bahasa Maluku. Dalam melakukan gerakan tari dengan iringan ritme musik ringan sampai medium, setiap orang memegag sapu tangan dalam genggaman. Tiga seniman musik Indonesia yaitu Jack Lesmana, Idris Sardi dan Bing Slamet diundang Bung Karno untuk menggali Irama Lenso. Bung Karno sendiri ikut terlibat dalam penggarapan lagu dalam irama Lenso tersebut. Satu diantaranya adalah lagu Bersuka Ria, yang merupakan galian Bung Karno dari musik daerah.
Lagu Bersuka Ria ini kemudian dinyanyikan oleh Rita Zaharah, Nien Lesmana, Bing Slamet dan Titiek Puspa dalam album kompilasi.
Kita bisa memetik sebuah semangat yang besar dari Bung Karno untuk menghadirkan budaya negeri sendiri dalam berbagai aspek kehidupan melalui musik. Coba dengar penggalan lirik “ Bersuka Ria “.
“ Kalau niat mencari istri, saya pilih yang pintar nyambal “
Bukankah sambal memang kesukaan Bung Karno dalam meja makan. Bahkan Ibu Hartini selalu mengulek sambal untuk Bung Karno.
Ide berkepribadian dalam budaya ini masih relevan dengan tantangan kehidupan berbangsa saat ini dimana budaya asing melintas melalui medium internet, TV, film dan musik
Bahkan kalau kita melihat tulisan Sukarno dalam ‘ Suluh Indonesia Muda ‘ tahun 1932 yang meminta agar rakyat Indonesia serta merta meniru gerakan swadesi di India sebagai cara memerdekakan Indonesia.
“ Tidak bolehlah kita membeo saja kepada semboyan semboyan yang dipakai perjuangan perjuangan rakyat lain negeri. Tidak boleh kita meng-over saja segala leuzen zonder menganlisa sendiri. Pergerakan Indonesia haruslah memikirkan sendiri, mengupas soal soalnya sendiri, mencari semboyan semboyan sendiri, menggembleng senjata senjatanya sendiri “
Jauh jauh hari sebelumnya Bung Karno sudah menulis tentang ancaman imperialisme dalam bentuk baru. Penjajahan tidak lagi harus secara fisik menduduki tanah bangsa lain, tapi melalui budaya.
Hal ini sangat disadari dengan Amerika yang berkepentingan dengan mengekspor film filmnya ke penjuru dunia. Sehingga pada masa orde baru, Amerika harus mengancam untuk menutup ekspor tekstil Indonesia ke Amerika, jika kita tidak membuka keran film film Hollywood. Jika dihitung pemasukan distribusi film Amerika di Indonesia, tidak terlalu besar. Tapi ada agenda lain, melalui film bisa mem- brainwash budaya secara perlahan. Tanpa sadar model rambut pendek ala Demi Moore mewabah di Indonesia begitu film ‘ Ghost ‘ hadir di tengah tengah kita.
Kita memang tidak perlu bereaktif anti segala yang berbau asing. Juga tidak perlu memberangus arus informasi ini, karena hampir tak mungkin mencegah digitalisasi informasi. Tapi kita berkepentingan agar negara setidaknya hadir dalam era globalisasi ini. Keberpihakan negara untuk melindungi film film nasionalnya sampai bagaimana mendorong remaja kita agar tidak lupa dengan akar rumputnya disela sela kekaguman mereka pada budaya K Pop Korea misalnya.
Kita bisa mencontoh Korea dalam menjadikan budayanya sebagai penggerak ekonomi kreatif. Dahulu, konten Barat mendominasi jam utama di televisi Korea. Tapi kemudian, 10 tahun kemudian, Korea memproduksi konten sendiri. Mereka justru membeli format dari Barat, tapi membuatnya lokal dengan artis kami dan bahasa Korea.
Kalau Amerika punya Hollywood, Asia punya Korea Selatan. Negeri Ginseng itu bisa disebut negara yang sukses memasarkan industri kreatifnya, dengan andalan drama dan musik K-Pop.
Bukan hanya berisi skenario yang bagus, drama-drama Korea juga punya karakteristik berbeda, terutama jika dibandingkan produk Amerika. Drama Korea, lebih berisi drama keluarga yang bisa ditransformasikan ke negara Asia lainnya, misalnya dengan nilai-nilai kekeluargaan, romantis, model cinta bertepuk sebelah tangan. Dibanding drama Amerika, yang banyak nuansa laga, terlalu banyak nilai hubungan bebas yang dianut. Sementara drama Korea tidak memotret yang negatif seperti itu. Drama Korea mencoba menebarkan “pesan-pesan” dari dalam negerinya yang juga sengaja dibuat sarat budaya lokal.
Bagaimana dengan Indonesia ? Bisakah kita meniru Korea yang menjadikan budaya sebagai komoditi ekspor yang menguntungkan perekonomiannya. Mungkinkah gantian remaja di luar negeri akan tergila-gila musik dan selebriti Indonesia. Kegelisahan Bung Karno ini yang sebenarnya menginspirasi untuk menciptakan kreativitas anak negeri sendiri, sekaligus menjadi pendorong lokomotif perekonomian bangsa. Bukankah film AADC bisa bisa menembus pasar wilayah regional seperti Malaysia, Brunei, Singapore. Ini memang butuh komitmen dan kesadaran untuk mencintai budaya negeri sendiri.
( Iman Brotoseno )
Be the first to comment