‘Halal Bihalal’ merupakan tradisi yang sering dilakukan masyarakat Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri. Ternyata tradisi yang dilakukan dengan saling bermaaf-maafan ini, bukanlah kebiasaan yang berkembang dari Arab, melainkan tradisi yang berkembang sejak era Presiden RI Pertama, yakni Soekarno.
Pada saat itu, tahun 1948, bertepatan dengan pertengahan bulan Ramadhan, kondisi perpolitikan di Indonesia sedang tidak stabil. Bung Karno lantas berdiskusi dengan Kiai Abdul Wahab, seorang tokoh ulama pada waktu itu, untuk mencari solusi mengatasi ketegangan tersebut.
Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan agenda ‘silaturahim’, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim.
Namun, Bung Karno enggan menggunakan kata silaturahmi karena dianggap sudah biasa. Lantas, menurut Kiai Wahab dengan alasan para elit politik tidak mau bersatu lantaran mereka saling menyalahkan.
“Sementara saling menyalahkan itu kan dosa dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Sehingga, mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan,” ucap Kiai Wahab.
Dari saran Kiai Wahab tersebut, Bung Karno kemudian membuat sebuah skema untuk mengundang semua tokoh politik berkumpul di Istana Negara seusai ibadah Solat Idul Fitri, duduk dalam satu meja untuk bisa bersilaturahmi.
Para tokoh politik tersebut akhirnya bisa duduk dalam satu meja serta saling bersalaman dan bermaaf-maafan, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak itulah kegiatan yang diberi judul Bung Karno sebagai ‘Halal Bihalal’, menjadi tradisi bangsa Indonesia hingga kini.
Tim Editor
Be the first to comment