Bu Mega dan Keteguhan Hati dalam Perjuangan Politik

Kota Semarang – Siapa yang tak kenal dengan sosok Ibu Megawati Soekarnoputri, sosok yang menahkodai Partai politik terbesar di Indonesia, yakni PDI Perjuangan. Bu Mega juga merupakan mantan Presiden Ke-5 RI dan tercatat sebagai perempuan pertama yang pernah menjabat di puncak kekuasaan eksekutif.

Kekuatan politik yang luar biasa dari Bu Mega tentu tidak terlepas dari sejarah panjang yang dilaluinya. Bukan semata merupakan anak biologis dari Sang Proklamator Bung Karno, Bu Mega faktanya merupakan tokoh yang menjunjung tinggi aspek idelogi serta sangat dekat dengan wong cilik.

Kejadian pahit pertama yang pernah dilalui adalah ketika sang ayah sakit. Rezim Orde Baru membatasi aktivitas politik Bung Karno dan mencoba untuk mengasingkannya baik dari keluarga, sahabat, serta masyarakat.

Hingga akhir usianya, Bung Karno hanya dirawat di Wisma Yaso dengan dokter yang tidak punya spesialisasi apapun. Tentu ini adalah fakta tragis yang harus diterima oleh Bung Karno, keluarga, dan para pendukung perjuangan politiknya.

Bung Karno pernah berwasiat untuk dimakamkan di Batutulis, Bogor. Tapi, ada kekhawatiran Orde Baru. Entah apa yang dipikirkan oleh penguasa saat itu sehingga permintaan Bung Karno tidak dipenuhi, padahal jika ditelisik lebih jauh, kurang apa perjuangan dari Sang Penyambung Lidah Rakyat untuk melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan.

Ini jelas menjadi kisah pilu bagi Bu Mega. Tapi, karena kejernihan pikiran dan keteguhan hatinya, Bu Mega mungkin menerima pil pahit itu untuk kemudian melenting ke atas, mengabarkan kebenaran dan moralitas yang harus dijunjung tinggi dalam arena politik.

Begitu juga ketika dulu Bu Mega menempuh pendidikan baik di Unpad maupun UI. Ia pernah di-drop out karena intervensi politik. Sangat jelas yang dimaksud itu adalah Orde Baru, karena memang saat itu terjadilah peralihan kekuasaan dari sang ayah ke Orde Baru.

Ketika mulai melaksanakan aktivitas politik di PDI, rezim Orde Baru juga nampak ada ketakutan yang luar biasa. Orde Baru menaruh satu orang bernama Suryadi di tubuh PDI agar kegiatan politik di PDI bisa dikontrol oleh pemerintah.

Hingga kemudian meletuslah peristiwa Kudatuli atau kerusuhan dua tujuh Juli 1996 di mana grassroot dan struktur PDI yang mendukung penuh Bu Mega bentrok dengan massa Suryadi yang didukung Orde Baru. Kisah pilu perjuangan politik Bu Mega akhirnya mulai menemukan secercah cahaya saat ia mengganti nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada 1 Februari 1999 dan mendeklrasikannya pada 14 Februari 1999 di Senayan, Jakarta.

Bu Mega yang didukung oleh akar rumput sebenarnya bisa saja memberontak pada rezim Orde Baru. Akan tetapi, ia tidak melakukannya, karena sangat paham bahwa sang ayah telah berdarah-darah memperjuangkan nasib bangsa Indonesia dari para penjajah.

Fondasi kokoh dalam perjuangan mencapai kemerdekaan itu adalah persatuan, sehingga ketika Bu Mega memberontak, maka ia tidak meneruskan cita-cita sang ayah. Inilah yang menjadi bukti bagaimana Bu Mega memiliki niat yang lurus dan hati yang teguh dalam dunia politik. Karena kepemimpinan yang luar biasa itu juga, akhirnya PDI Perjuangan saat ini menjadi Partai politik terbesar di Bumi Pertiwi.

Tim Editor

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*